REGULASI ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA
Tinjauan
Pengaturan Perundang-Undangan Di Bidang Asuransi Dalam Kaitannya Dengan
Asuransi Syariah
1.
Kitab
Undang-Undang hukum Perdata
Ketentuan
mengenai kegiatan asuransi dalam KUH perdata, diatur dalam Bab Kelima Belas
tentang Perjanjian untung-untungan, pada bagian kesatu tentang ketentuan umum,
yaitu pada Pasal 1774 KUH perdata. Dalam pasal ini, kegiatan asuransi
diistilahkan dengan pertanggungan. Adapun bunyi ari pasal 1774 KUH Perdata
adalah :
“Suatu
perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai
untung-ruginya, baik bagi semua pihak, maupun sementara pihak, bergantung pada
suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah :
Perjanjian
pertanggungan;
Bunga
cagak hidup;
Perjudian
dan pertaruhan.
Perjanjian
yang pertama diatur di dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang.”
Jika
dilihat dari pasal tersebut, maka perjanjian pertanggungan dikategorikan dalam
kelompok Perjanjian Untung-untungan.
Untuk
asuransi syariah, Pasal 1774 KUH Perdata tidak dapat dijadikan dasar hukum
karena adanya unsur judi (maisir) yaitu adanya unsur untung-rugi yang
digantungkan pada kejadian yag belum tentu. Asuransi syariah tidak didasarkan
untung-rugi tapi didasarkan konsep tanggung jawab dan tolong menolong.
2. Undang-Undang No. 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian
Dari
segi positif, hukum saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya
pada UU. No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yanag sebenarnya kurang
mengakomodasi asuransi Islam di Indonesia karena tidak mengatur mengenai
keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah. Pasal 1 undang-undang ini
menyebutkan definisi asuransi sebagai berikut :
“
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua belah pihak atau
lebih; dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang
timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seorang yang
dipertanggungkan”.
Dalam
pasal tersebut tampak masih adanya gambaran perjanjian dua pihak antara
penanggung dan tertanggung untuk memberikan pembayaran atas timbulnya suatu
peristiwa yang tidak pasti yang diperjanjikan. Pengertian peristiwa yang tidak
pasti dalam Undang-Undang No. 2 Tahun
1992 ini hanya memperluas penjabaran mengenai pengertian “ peristiwa
yang tak tentu” dari definisi asuransi yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD).
3. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD)
Definisi asuransi dalam KUHD terdapat dalam Bab
Kesembilan tentang asuransi atau pertanggungan umumnya yaitu pada Pasal 246
yang berbunyi :
”Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan
diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa
yang tak tentu.”
Dari
definisi tersebut disimpulkan :
a.
Pihak pertama sebagai pihak yang
ditanggung, mengalihkan beban atau risikonya kepada pihak penanggung.
b.
Pihak yang ditanggung membeli hak untuk
menerima ganti rugi, atau jaminan dari yang menjualnya yaitu pihak penanggung
menerima sejumlah uang yang disebut premi.
c.
Pihak penanggung mengharapkan keuntungan
dari pembelinya, dan dengan keuntungan ini ia bersedia menanggung kerugian yang
mungkin ditimbulkan akibat bahaya-bahaya yang menjadi pokok pertanggungan
d.
Kerugian yang timbul harus merupakan
suatu hal yang tak terduga-duga, dan merupakan suatu bahaya yang tidak dapat
diharapkan atau dinantikan dengan pasti, dengan kata lain tidak sengaja.
Dengan melihat asuransi diatas, maka seperti halnya
KUH Perdata, asuransi disini dapat dipersamakan dengan perjanjian tukar-menukar
dengan perjanjian tukar menukar dengan pertimbangan untung-rugi. Berdasarkan
KUHD ini, tertanggung yang memutuskan kontrak sebelum habis waktunya akan
kehilangan seluruh atau sebagian besar premi yang telah dibayarkan. Hal ini
dirasakan sebagai suatu kerugian bagi tertanggung dan di lain pihak hal ini
merupakan keuntungan bagi penanggung.
Dengan kata lain, pengertian asuransi dalam UU No.2
Tahun 1992 maupun KUHD tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi
asuransi syariah. Sementara, ketentuan lainnya dalam KUHD dan undang-undang
tersebut yang mengatur tentang teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam
kaitannya dengan kegiatan administrasi dapat diterapkan dalam asuransi Islam.
Peraturan perundang-undangan yang telah
dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu:
1.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/
KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusa haan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk
mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 yang
menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha
reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Ketentuan yang berkaitan dengan
asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara
memperoleh izin usaha perusahaan asuransi danperusahaan
reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang
dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip
syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip
syariah.
2.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/
KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam
Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai
oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
3.
Keputusan Direktur
Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/ LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan
Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan
Sistem Syariah.
4. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun
1999 tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Pada
Ketentuan tentang persyaratan umum perusahaan perasuransian, yaitu Pasal 7 PP
No 63 Tahun 1999 disebutkan bahwa sekurang-kurangnya 20% dari modal disetor
yang dipersyaratkan, harus ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka pada
bank umum. Ketentuan ini tidak dapat begitu saja diterapkan. Untuk asuransi
syariah, deposito berjangka yang digunakan haruslah yang sesuai dengan syariah.
Sementara itu, dalam Pasal 13 PP No. 63 Tahun 1999, investasi perusahaan
asuransi dan reasuransi disyaratkan pada jenis investasi yang aman dan
menguntungkan serta memiliki tingkat likuiditas yang sesuai dengan kewajiban
yang harus dipenuhi. Untuk asuransi syariah, persyaratan investasi tersebut
harus ditambah dengan jenis investasi yang sesuai dengan syariah.
Ditinjau
dari segi premi asuransi, asuransi syariah mempunyai ciri khas yang belum
ditampung dalam ketentuan penyelenggaraan usaha. Pada asuransi syariah, premi
yang dibayarkan dibagi menjadi dua bagian yang jelas porsinya, yaitu tabungan
dan derma. Bagian tabungan ini akan tetap menjadi milik peserta dan pada
akhirnya akan dikembalikan pada peserta. Sedangkan bagian derma dari awal
perserikatan sudah diikrarkan untuk tujuan itu. Adapun hak dari setiap peserta
adalah akan menerima derma dari peserta lainnya sejumlah tertentu apabila suatu
musibah menimpa seorang peserta. Selain itu perlu ditambahkan ketentuan
mengenai ketentuan bagi hasil yang diterima oleh peserta asuransi / tertanggung
dari pihak penanggung atas investasi yang dilakukan.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional NO: 21/DSN-MUI/X/2001
Tentang
Pedoman Umum Asuransi
Dalam
menjalankan usahanya secara syariah, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah
hanya menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No.21 / DSN-MUI / X / 2001 tentang pedoman umum asuransi syariah. Fatwa
tersebut di keluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman
untuk menjalankan asuransi secara syariah.
Pertama : Ketentuan Umum Asuransi Syariah
1.
Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful
atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara
sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’
yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2.
Akad yang sesuai dengan syariah yang
dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir
(perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3.
Akad tijarah adalah semua bentuk
akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
4.
Akad tabarru’ adalah semua bentuk
akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata
untuk tujuan komersial.
5.
Premi adalah kewajiban peserta Asuransi
untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan
kesepakatan dalam akad.
6.
Klaim adalah hak peserta Asuransi yang
wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua:
Akad dalam Asuransi Syariah
1.
Akad yang dilakukan antara peserta
dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan / atau akad tabarru'.
2.
Akad tijarah yang dimaksud dalam
ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
3.
Dalam akad, sekurang-kurangnya harus
disebutkan :
a. hak
& kewajiban peserta dan perusahaan;
b. cara
dan waktu pembayaran premi;
c. jenis
akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati,
sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ketiga:
Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1.
Dalam akad tijarah (mudharabah),
perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak
sebagai shahibul mal (pemegang polis);
2.
Dalam akad tabarru’ (hibah),
peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang
terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Keempat
: Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1.
Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi
jenis akad tabarru' bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan
haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan
kewajibannya.
2.
Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah
menjadi jenis akad tijarah.
Kelima : Jenis Asuransi dan
Akadnya
1.
Dipandang dari segi jenis asuransi itu
terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
2.
Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi
tersebut adalah mudharabah dan hibah.
Keenam
: Premi
1.
Pembayaran premi didasarkan atas jenis
akad tijarah dan jenis akad tabarru'.
2.
Untuk menentukan besarnya premi
perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita
untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat
tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.
3.
Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah
dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
4.
Premi yang berasal dari jenis akad tabarru'
dapat diinvestasikan.
Ketujuh
: Klaim
1.
Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang
disepakati pada awal perjanjian.
2.
Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai
dengan premi yang dibayarkan.
3.
Klaim atas akad tijarah
sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4.
Klaim atas akad tabarru',
merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang
disepakati dalam akad.
Kedelapan
: Investasi
1.
Perusahaan selaku pemegang amanah wajib
melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
2.
Investasi wajib dilakukan sesuai dengan
syariah.
Kesembilan : Reasuransi
Asuransi
syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang
berlandaskan prinsip syari'ah.
Kesepuluh
: Pengelolaan
1.
Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh
dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
2.
Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh
bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah
(mudharabah).
3.
Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh
ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).
Kesebelas : Ketentuan Tambahan
1.
Implementasi dari fatwa ini harus selalu
dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.
2.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
Tanggal : 17 Oktober 2001 Oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia
Fatwa Dewan Syariah Nasional
NO: 53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad
Tabarru Pada Asuransi Syariah
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam
Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. asuransi
adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;
b. peserta
adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam
reasuransi syari’ah.
Kedua : Ketentuan Hukum
a. Akad
Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.
b. Akad
Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta
pemegang polis.
Ketiga : Ketentuan Akad
1. Akad
Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan
tujuan kebajikan dan tolong¬ menolong antar peserta, bukan untuk tujuan
komersial.
2. Dalam
akad Tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
a. hak
& kewajiban masing-masing peserta secara individu;
b. hak
& kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku peserta
dalam arti badan/kelompok;
c. cara
dan waktu pembayaran premi dan klaim;
d. syarat-syarat
lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Keempat : Kedudukan Para Pihak dalam
Akad Tabarru’
1. Dalam
akad Tabarru’, peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong
peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah.
2. Peserta
secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’
(mu’amman/mutabarra’ lahu, مؤمّن/متبرَّع له) dan secara kolektif selaku penanggung
(mu’ammin/mutabarri’- مؤمّن/متبرِّع).
3. Perusahaan
asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad Wakalah dari
para peserta selain pengelolaan investasi.
Kelima : Pengelolaan
1. Pembukuan
dana Tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya.
2. Hasil
investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam
akun tabarru’.
3. Dari
hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan
akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee)
berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
Keenam : Surplus Underwriting
1. Jika
terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa
alternatif sebagai berikut:
a. Diperlakukan
seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’.
b. Disimpan
sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para
peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko.
c. Disimpan
sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada
perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta.
2. Pilihan
terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui terlebih dahulu
oleh peserta dan dituangkan dalam akad.
Ketujuh
: Defisit Underwriting
1. Jika
terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru’), maka
perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk Qardh
(pinjaman).
2. Pengembalian
dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru’.
Kedelapan
: Ketentuan Penutup
1. Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa
ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.
Ditetapkan di Jakarta Tanggal : 23
Maret 2006 / 23 Shafar 1427 H oleh DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA
INDONESIA
FATWA DEWAN
SYARI'AH NASIONAL NO:
51/DSN-MUI/III/2006 TENTANG AKAD MUDHARABAH MUSYARAKAH PADA ASURANSI SYARIAH
Pertama
: Ketentuan Umum
Dalam
Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. asuransi
adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;
b. peserta
adalah peserta asuransi atau perusahaan asuransi dalam reasuransi.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Mudharabah
Musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi, karena merupakan bagian
dari hukum Mudharabah.
2. Mudharabah
Musytarakah dapat diterapkan pada produk asuransi syariah yang mengandung unsur
tabungan (saving) maupun non tabungan.
Ketiga : Ketentuan Akad
1. Akad
yang digunakan adalah akad Mudharabah Musytarakah, yaitu perpaduan dari akad
Mudharabah dan akad Musyarakah.
2. Perusahaan
asuransi sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi
bersama dana peserta.
3. Modal
atau dana perusahaan asuransi dan dana peserta diinvestasikan secara
bersama-sama dalam portofolio.
4. Perusahaan
asuransi sebagai mudharib mengelola investasi dana tersebut.
5. Dalam
akad, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
- hak
dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
- besaran
nisbah, cara dan waktu pembagian hasil investasi;
- syarat-syarat
lain yang disepakati, sesuai dengan produk asuransi yang diakadkan.
6. Hasil
investasi : Pembagian hasil investasi dapat dilakukan dengan salah satu
alternatif sebagai berikut:
Alternatif I :
- Hasil
investasi dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dengan
peserta (sebagai shahibul mal) sesuai dengan nisbah yang disepakati.
- Bagian
hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai
mudharib) dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan
para peserta sesuai dengan porsi modal atau dana masing-masing.
Alternatif II :
- Hasil
investasi dibagi secara proporsional antara perusahaan asuransi (sebagai
musytarik) dengan peserta berdasarkan porsi modal atau dana
masing-masing.
- Bagian
hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai
musytarik) dibagi antara perusahaan asuransi sebagai mudharib dengan
peserta sesuai dengan nisbah yang disepakati.
7.
Apabila terjadi kerugian maka perusahaan
asuransi sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau
dana yang disertakan.
Keempat : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Mudharabah Musytarakah
1. Dalam
akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan
sebagai musytarik (investor).
2. Peserta
(pemegang polis) dalam produk saving, bertindak sebagai shahibul mal
(investor).
3. Para
peserta (pemegang polis) secara kolektif dalam produk non saving, bertindak
sebagai shahibul mal (investor).
Kelima : Investasi
1. Perusahaan
asuransi selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang
terkumpul.
2. Investasi
wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.
Keenam : Ketentuan Penutup
1.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta Tanggal : 23
Shafar 1427 / 23 Maret 2006 Oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 52/DSN-MUI/III/2006 TENTANG AKAD WAKALAH BIL UJRAH PADA ASURANSI DAN REASURANSI SYARIAH
Pertama
: Ketentuan Umum
Dalam
Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. Asuransi
adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;
b. Peserta
adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam
reasuransi syari’ah.
Kedua : Ketentuan Hukum
1.
Wakalah bil Ujrah boleh dilakukan antara
perusahaan asuransi dengan peserta.
2.
Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa
dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan
pemberian ujrah (fee).
3.
Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada
produk asuransi yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun maupun
unsur tabarru' (non-saving).
Ketiga : Ketentuan Akad
1.
Akad yang digunakan adalah akad Wakalah
bil Ujrah.
2.
Objek Wakalah bil Ujrah meliputi antara
lain:
- kegiatan
administrasi
- pengelolaan
dana
- pembayaran
klaim
- underwriting
- pengelolaan
portofolio risiko
- pemasaran
- investasi
3.
Dalam akad Wakalah bil Ujrah, harus
disebutkan sekurang-kurangnya:
- hak
dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
- besaran,
cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi;
- syarat-syarat
lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Keempat
: Kedudukan dan Ketentuan Para Pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah
1. Dalam
akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa)
untuk mengelola dana
2. Peserta
sebagai individu dalam produk saving bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa)
3. Peserta
sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru’ bertindak sebagai muwakkil
(pemberi kuasa) untuk mengelola dana.
4. Wakil
tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali
atas izin muwakkil (pemegang polis);
5. Akad
Wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan tanggungan (yad
dhaman) sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi
dengan mengurangi fee yang telah diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau
wanprestasi.
6. Perusahaan
asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi,
karena akad yang digunakan adalah akad Wakalah.
Kelima : Investasi
1.
Perusahaan asuransi selaku pemegang
amanah wajib menginvestasikan dana yang terkumpul dan investasi wajib dilakukan
sesuai dengan syariah.
2.
Dalam pengelolaan dana/investasi, baik
dana tabarru’ maupun saving, dapat digunakan akad Wakalah bil
Ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti di atas, akad Mudharabah dengan
mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah, atau akad Mudharabah Musyarakah dengan
mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah Musytarakah.
Keenam : Ketentuan Penutup
1.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta Tanggal :
23 Shafar 1427 / 23 Maret 2006 Oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia
DAFTAR
PUSTAKA
Dewi,Gemala.2005.Aspek-aspek
Hukum dalam perbankan dan perasuransian di Indonesai.cet.4:Jakarta. Kencana Prenada Media Group
Wirdiyaningsih.2005.Bank dan asuransi Islam di
Indonesia.cet.3:Jakarta,
Kencana prenada media group
Dewan
Syariah Nasional. Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional. Edisi Kedua.
Jakarta: DSN-MUI,
2003.
Regulasi Asuransi Syariah Di Indonesia - Daily Life Ihsan >>>>> Download Now
BalasHapus>>>>> Download Full
Regulasi Asuransi Syariah Di Indonesia - Daily Life Ihsan >>>>> Download LINK
>>>>> Download Now
Regulasi Asuransi Syariah Di Indonesia - Daily Life Ihsan >>>>> Download Full
>>>>> Download LINK