Header Ads

Harta dalam Perspektif Ekonomi Islam




Abstrak
Harta yang dimiliki sebaiknya digunakan dengan sebaik-baiknya, terutama untuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Zakat, sedekah, wakaf dan lain sebagainya yang kita berikan untuk orang-orang yang membutuhkannya, karena sebagian dari harta kita ada harta milik orang lain yang harus dikeluarkan.
Kata Kunci : Ibadah, kepemilikan harta, pembagian harta, saling tolong menolong.







Latar Belakang
          Harta seharusnya dijadikan untuk memenuhi kebutuhan hidup untuk keluarga, diri sendiri dan yang paling penting adalah untuk ibadah atau untuk saudara kita yang membutuhkan. Karena harta yang kita miliki merupakan rezeki dari Allah SWT dan sebagian dari harta tersebut ada harta milik saudara kita. Maka dari sudut pandang islam harta yang kita miliki sebaiknya dimanfaat dengan sebaik-baiknya yang sesuai dengan syariat islam.
Tujuan
           Dengan adanya pendistribusian harta yang adil, maka akan terciptanya kesejahteraan yang merata dan tingkat kualitas hidup yang lebih baik maka akan terciptanya keamanan.
Landasan Teori
Al-Qur'an bagi kaum Muslimin diyakini bukan hanya kitab suci 'ansich' yang bersifat pasif, tapi merupakan wahyu Allah kepada ummat manusia lewat perantaraan Nabi Muhammad saw dan utusan 'ruh suci' Jibril yang berisi kebenaran-kebenaran absolut dari Rabb al-Alamin Azza wa Jalla.1 Dengan demikian al-Qur'an dijadikan sebagai pedoman hidup bagi ummat Islam dalam melakukan ibadah, muamalah dan pembinaan akhlaq.  Aspek yang menarik untuk dikaji lebih mendalam ialah bagaimana nilai-nilai Islami (syari'ah) dilaksanakan dalam berbagai sendi kehidupan, salah satunya ialah mengenai pembelanjaan harta. 
Pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia. Kata maal itu sendiri berakar dari kata dan frase: مول ، ملت ، لت تموّ ، تمو
sebagaimana Rasulullah bersabda dalam sebuah Hadits:" Sebaik-baik maal ialah yang berada pada orang yang saleh." (Bukhari dan Muslim)
Pengertian harta secara Istilah
Hanafiyah: Semua yang mungkin dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan. sesuatu yang digandrungi oleh tabiat manusia dan mungkin disimpan untuk digunakan saat dibutuhkan. Dua unsur menurut madzhab: 1. Dimiliki dan disimpan 2. Biasa dimanfaatkan.
Jumhur Fuqaha: Setiap yang berharga yang harus diganti apabila rusak.
Hambali: apa-apa yang memiliki manfaat yang mubah untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat.
Imam Syafii: barang-barang yang mempunyai nilai untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang telah meninggalkannya (tidak berguna lagi bagi manusia).
Ibnu Abidin: segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan sampai waktu ia dibutuhkan.
As Suyuti dinukil dari Imam Syafii: tidak ada yang bisa disebut mal (harta) kecuali apa-apa yang memiliki nilai penjualan dan diberi sanksi bagi orang yang merusaknya. Harta (nilai harta).
Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman dan ibadah kepada Allah, bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.
Analisis
Metode yang dilakukan adalah metode analisis isi (content analysis)2, yaitu analisis terhadap makna yang terkandung dalam suatu ayat dengan melalui pendekatan sosiologis untuk mengetahui pendistribusian harta.
Prinsip dalam Distribusi Harta
Prinsip utama yang menentukan dalam distribusi harta ialah keadilan dan kasih sayang. Tujuan pendistribusian meliputi: Pertama, agar kekayaan tidak menumpuk pada sebagian kecil masyartakat, tetapi selalu beredar dalam masyarakat. Kedua, berbagai faktor produksi yang perlu mempunyai pembagian yang adil dalam kemakmuran negara.

Pembersihan jiwa dalam dataran doktrin diimbangi dengan pertimbangan keadilan untuk mewujudkan suatu sistem kehidupan yang sejahtera. Islam menghendaki kesamaan di kalangan manusia di dalam perjuangannya untuk mendapatkan harta tanpa memandang perbedaan kelas, kepercayaan atau warna kulit.3
Tujuan utama Islam ialah memberikan peluang yang sama kepada semua orang dalam perjuangan ekonomi tanpa membedakan status sosialnya, di samping itu Islam tidak membenarkan perbedaan kehidupan lahiriah yang melampaui batas dan berusaha mempertahankannya dalam batasan-batasan yang wajar dan seksama. Dalam rangka mengontrol pertumbuhhan dan penimbunan harta kekayaan, Islam mencegah terjadinya penimbunan dan menolong setiap orang untuk membelanjakannya demi kebaikan masyarakat.4
Kalau harta seluruhnya adalah milik Allah, maka tangan manusia hanyalah tangan suruhan untuk jadi khalifah. Maksudnya manusia adalah khalifah-khalifah Allah dalam mempergunakan dan mengatur harta itu.
Ada tiga asas pokok tentang harta dalam ekonomi Islam, yaitu:
1.     Allah Maha Pencipta, bahwa kita yakin semua yang ada di bumi dan di langit adalah ciptaan Allah.
2.     Semua harta adalah milik Allah. Kita sebagai manusia hanya memperoleh titipan dan hak pakai saja. Semuanya nanti akan kita tinggalkan, kita kembali ke kampung akhirat.
3.     Iman kepada hari Akhir. Hari Akhir adalah hari perhitungan, hari pembalasan terhadap dosa dan pahala yang kita perbuat selama mengurus harta di dunia ini. Kita akan ditanya darimana harta diperoleh dan untuk apa ia digunakan, semua harus dipertanggungjawabkan.
Pengelolaan harta dalam Islam
Ada 3 poin penting dalam pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai Al-Qur’an dan Hadits); yaitu:
1. Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”
2. Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”
3. ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (hadits Muslim)
Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah menurut Islam. Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapu sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Dalam Al-Quran surat Al-Hadiid (57):7 disebutkan tentang alokasi harta.
”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu ’menguasainya’. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu akan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”
Yang dimaksud dengan menguasai disini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hak milik pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidak boleh kikir dan boros.
Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi sehingga terpenuhinya segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang bersedia menjadi konsumen, dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat kikir melampaui batas, maka cepat atau lambat roda produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa akan terhambat.
Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkan di jalan Allah atau untuk beribadah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kebakhilan. Larangan kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir kepada harta karena Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang mereka gunakan akan dipertanggungjawabkan di hari perhitungan.
Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara haram, maka dalam membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang haram. Ia tidak dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal dengan melebihi batas kewajaran karena sikap boros bertentangan dengan paham istikhlaf harta majikannya (Allah). Norma istikhlaf adalah norma yang menyatakan bahwa apa yang dimiliki manusia hanya titipan Allah. Adanya norma istikhlaf ini makin mengukuhkan norma ketuhanan dalam ekonomi Islam. Dasar pemikiran istikhlaf adalah bahwa Allah-lah Yang Maha Pemilik seluruh apa dan siapa yang ada di dunia ini: langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, batuan, dans ebagainya, baik benda hidup ataupun mati, yang berpikir ataupun tidak bepikir, manusia atau nonmanusia, benda yang terlihat ataupun tidak terlihat
Islam membenarkan pengikutnya menikmati kebaikan dunia. Prinsip ini bertolak belakang dengan sistem kerahiban Kristen, Manuisme Parsi, Sufisme Brahma, dan sistem lain yang memandang dunia secara sinis. Sikap mubadzir akan menghilangkan kemaslahatan harta, baik kemaslahatan pribadi dan orang lain. Lain halnya jika harta tersebut dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh pahala, dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting. Sikap mubadzir ini akan timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan sehingga sering membelanjakan harta tidak untuk kepentingan yang hakiki, tetapi hanya menuruti hawa nafsunya belaka. Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat mubadzir dengan ancaman sebagai temannya setan.
Muhammad bin Ahmad As-Shalih mengemukakan jika Islam telah melarang berlaku boros, maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi orang yang menghamburkan harta kekayaan, yaitu mencegahnya dari membelanjakan harta tersebut. Inilah yang disebut hajr. Menurut para fuqaha, hajr adalah mencegah seseorang dari bertindak secara utuh oleh sebab-sebab tertentu. Di antara sebab-sebab itu adalah kecilnya usia sehingga harta itu tidak musnah karena kecurangan, tipu muslihat, dan tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Ada beberapa ketentuan hak milik pribadi untuk sumber daya ekonomi dalam Islam:
1. harta kekayaan harus dimanfaatkan untuk kegiatan produktif (melarang penimbunan dan monopoli);
2. pembayaran zakat serta pendistribusian (produktif/konsumtif)
3. penggunaan yang berfaidah (untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan material-spiritual)
4. penggunaan yang tidak merugikan secara pribadi maupun secara kemasyarakatan dalam aktivitas ekonomi maupun non ekonomi
 5.   kepemilikan yang sah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam aktifitas transaksi ekonomi.
Kesimpulan
          Harta adalah semua yang mungkin dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan. Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman dan ibadah kepada Allah, bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.
         
          Menggunakan harta dengan jalan yang benar dan sesuai dengan unsur ibadah, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.



DAFTAR PUSAKA



An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Al-Azhar Press. 2009


Rasjid. Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004



Saleh, H.E. Hassan. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2008

Azizy, A. Qodri. Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004

Ibrahim. Pengantar Hukum Islam, Djakarta: Garda, 1965

Anshari, Endang Saiffudin. wawasan islam, Bandung: Pustaka, 1983

Haryono, Anwar. Hukum Islam, keluasan dan keadilannya. Jakarta: Bulan-Bintang, 1967



1. Abdul Aziz Alkhayyat. Al-Ashum wa As-Sanadat Min Mandzuur Al-Islam.Daarussalam. Mesir. 1979

 

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh wibs24. Diberdayakan oleh Blogger.